Lidah orang berakal di belakang hatinya, dan hati orang bodoh di belakang lidahnya. ketahuilah lidah laksana seekor binatang buas. jika kalian lepaskan pasti dia akan membunuh.


mawlawiyah

Selasa, 06 Desember 2011

Home Schooling (Rumahku Kelasku, Dunia Sekolahku)

 By : Maulawiyah

Terlahirnya Pancasila sebagaimana tercatat dalam sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia, merupakan sublimasi dan kristalisasi dari pandangan hidup (way of life) dan nilai-nilai budaya luhur bangsa yang mempersatukan keanekaragaman bangsa kita menjadi bangsa yang satu, Indonesia.[1] Sebagaimana yang ditujukan dalam ketetapan MPR No. II/MPR/1979, maka Pancasila itu adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia dan dasar negara kita. Setiap bangsa yang ingin berdiri kokoh dan mengetahui dengan jelas arah serta tujuan yang ingin dicapainya sangat memerlukan nilai-nilai luhur yang dijunjung sebagai pandangan/filsafat hidup. Dalam pergaulan hidup terkandung konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan oleh suatu bangsa, terkandung pikiran-pikiran yang terdalam dan gagasan sesuatu bangsa mengenai wujud kehidupan yang dianggap baik. Pada akhirnya pandangan hidup sesuatu bangsa adalah kristalisasi dari nilai-nilai yang dimiliki bangsa itu sendiri, yang diyakini kebenarannya dan menimbulkan tekad pada bangsa itu untuk mewujudkannya menjadi negara yang sejahtera (Wellfare State).
Dengan demikian, Pancasila sebagai dasar falsafah Negara Indonesia harus diketahui dan dipahami oleh seluruh bangsa Indonesia agar menghormati, menghargai, menjaga, dan menjalankan nilai-nilai serta norma-norma positif yang terkandung dalam sila-sila pancasila hingga menjadi bangsa yang kuat dalam menghadapi kisruh dalam berbagai aspek sosial, ekonomi, politik baik nasional maupun internasional seperti yang sedang kita alami belakangan ini.
Dunia pendidikan pun dalam pengaplikasiannya seharusnya juga mengandung nilai-nilai positif dari pancasila. Dalam menciptakan generasi penerus yang kuat dalam menghadapi berbagai kisruh juga diperlukan penerapan pendidikan yang efektif. Salah satu alternatifnya masyarakat bisa menerapkan model belajar homeschooling. Meskipun ada yang beranggapan bahwa homeschooling merupakan penyimpangan dari sila kelima, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dimana homeschooling hanya bisa dinikmati oleh orang-orang yang kaya, terjadi kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin. Namun model pembelajaran seperti ini pada hakikatnya bisa dinikmati oleh siapa saja. Bagi keluarga yang pas-pasan dan ingin menyekolahkan anaknya dengan model homeschooling, juga bisa mendapat bantuan dari pemerintah dimana bantuan itu tidak hanya ada disekolah formal saja.
Homeschooling  adalah salah satu model belajar bagi anak-anak, karena sekolah bukan satu-satunya tempat belajar anak dan cara anak untuk mempersiapkan masa depannya. Di dalam sistem pendidikan Indonesia, keberadaanya adalah legal karena memiliki dasar hukum yang jelas yaitu pada Pasal 27 UU sisidiknas no.20/2003 ayat 1 dan 2 yang menyatakan bahwa kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Hasil pendidikan informal/homeschooling diakui sama dengan pendidikan formal (sekolah negeri dan swasta) dan nonformal (kursus) setelah peserta ddik lulus ujian sesuai dengan stadar nasional pendidikan.[2] Sementara itu, menurut data yang dihimpun oleh direktorat pendidikan kesetaraan departemen pendidikan nasional, ada sekitar 600 peserta homeschooling di Indonesia.[3]
Salah seorang yang cermat dan kritis menyuarakan penyempurnaan dalam penyelenggaraan pendidikan khususnya di Amerika pada kurun waktu 90an adalah john Caldwell holt yang dasar pemikirannya mengandung misi pembebasan dari pihak orang tua anak mewakili anak sebagai peserta didik yang idealnya dijauhkan dari cara berpikir instruktif, seperti yang dikembangkan melalui sekolah. Gagasan holt pun bermuara pada bentuk awal penyelenggaraan pendidikan yang berbasis rumah / homeschooling.[4] Dalam bukunya yang berjudul How Children Fail yang mengkritisi sekolah trasisional dimasa itu. Buku tersebut sebagai dasar teori dalam upayanya mengembangkan gagasannya sebagai guru yang mencermati kegagalan akademik dari pendidikan dasar disekolah akibat tekanan oleh ortu/guru. Dalam bukunya yang How Children Learn (1967) juga menunjukkan proses pembelajaran anak, dimana ia lebih percaya pada prosesnya.
Di Indonesia, benih-benih homeschooling pada dasarnya sudah ada sejak zaman sebelum kemerdekaan. Contohnya saja K.H Agus Salim yang enggan menyekolahkan anak-anaknya terpengaruh pikiran dan kebudayaan penjajah. Saat menikahi Zaitun Nahar pada 1912, K.H Agus Salim meminta istrinya banyak membaca dan berzikir karena ingin mendidik sendiri anak-anaknya dirumah.[5]
Ide untuk merealisasikan homeschooling pun bergulir dari waktu kewaktu karena  semakin banyaknya kritisi pendidikan formal sekolah dan setelah terjadi kecenderungan kapitalis pendidikan yang masyarakat beranggapan  secara tidak langsung tidak sedikit oknum pendidik yang menjadikan sekolah sebagai ajang proyek. Sebagian biaya operasional yang dibebankan kepada orag tua murid, belum lagi adanya iklim kompetitif hingga antar sekolah bersaing keras untuk meningkatkan prestasi menjadi sekolah favorit. Akibatnya orang tua murid harus menanggung beban berta keuangan. Namun dilain pihak, ada masyarakat yang menilai homeschooling dilahirkan dari ide-ide konservarif serta dikhawatirkan akan menjauhkan anak dari kehidupan social. Namun homeschooling semakin tumbuh dari waktu kewaktu karena para penggagasa dan praktisinya mampu membuktikan bahwa penyelenggaraan pendidikan melalui bentuk homeschooling ternyata lebih efektif.
Sebagai sebuah ide mengenai sikap belajar, homeschooling merupakan pembudayaan. Artinya homeschooling adalah proses panjang dan pengulangan terus menerus, serta penanaman kebiasaan positif yang berlangsung selama bertahun-tahun.[6] Belajar dirumah juga lebih menyenangkan karena jumlah mata pelajaran yang dibebankan kepada peserta didik di sekolah formal kini sangatlah memberatkan.
Ketika siswa merasa trauma dengan sekolah umum/formal, dengan beberapa penyebab diantaranya adanya kekerasan secara mental maupun fisik dan terbebani untuk mempelajari suatu bidang studi, atau bahkan faktor psikologis si anak tidak bisa mengikuti standar pendidikan berdasarkan kurikulum, mereka tertekan dan stres bahkan frustasi karena pelajaran-pelajarannya sangat berat. bukan rasa ingin tahu yang muncul dalam benak mereka, melainkan setumpuk beban pengetahuan yang harus ia jejalkan dalam otaknya. Dengan beban seperti itu, mereka enggan dan ogah-ogahan untuk membaca dan mengembangkan pengetahuannya sendiri, apalagi di sekolah misalnya, mereka lebih banyak menerima pengetahuan dengan proses satu arah.
Dengan system belajar homeschooling, seorang anak akan belajar lebih menyenangkan karena menerima pelajaran dengan rasa ingin tahu dan tidak ada beban dalam mempelajarinya. Hal ini penting untuk  proses berpikir mereka karena akan terus mengembangkan pengetahuannya tanpa harus dibatasi oleh ruang jenjang pendidikan dan waktu. Dengan demikian, mereka akan mempunyai kebebasan berpikir dan berkreasi sesuai dengan bakat dan minat yang mereka kenali dan tekuni.
Kurikulum untuk program homeschooling dapat diambil dari Departemen Pendidikan Nasional sebagai bahan rujukan. Orang tua juga dapat mengambil rujukan kurikulum dari mana saja yang dapat disesuaikan dengan minat anak atau dengan mengkombinasikan beberapa kurikulum sehingga saling melengkapi. Tetapi, pengembangan dan pendekatannya diserahkan secara penuh kepada sang pendamping atau sang pembimbing homeschooling.[7]
Untuk pemenuhan marteri ajar, orangtua dapat menggunakan materi yag sudah dimiliki dari internet, perpustakaan kota ataupun hasil kreativitas sendiri. Terkadang juga Banyak orang tua Indonesia yang mempraktekkan homeschooling mengambil materi pelajaran, bahan ujian dan sertifikat sekolah rumah dari Amerika Serikat. Sertifikat dari negeri paman Sam itu diakui di Indonesia (Departemen Pendidikan Nasional) sebagai lulusan sekolah Luar Negeri. [8]Mengenai jam belajar homeschooling dinilai lebih efektif dalam memenuhi kurikulum dan materi ajar yang setara dengan pendidikan formal, yaitu 595 – 680 jam/tahun untuk SD/MI,  816 jam/tahun untuk SMP dan 969 jam/tahun untuk SMA. [9] Hal itu jauh lebih efektif dimana sekolah formal bisa sampai mencapai 1400 jam/tahun untuk tingkat SMA.
Homeschooling itu mahal, begitu pandangan orang-orang yang selintas membayangkan homeschooling. Mungkin sebagian dipengaruhi oleh model homeschooling yang dilaksanakan para artis yang tinggal pasif dan mengundang guru privat untuk setiap mata pelajaran. Salah satu poin besar homeschooling dalam soal biaya pendidikan adalah fleksibilitas, bukan mahal-murah. Orangtua tidak dipaksa untuk mengeluarkan biaya-biaya pendidikan (gedung, seragam, buku, sarana, dll) yang sudah ditentukan. Setiap keluarga dapat menjalankannya sesuai dengan kondisi keuangan seberapapun. Semua biaya yang dikeluarkan betul-betul tergantung pada kondisi setiap keluarga sehingga setiap keluarga dapat menilai efektivitas pengeluaran dananya sesuai tujuan yang ditetapkannya. Kepercayaan masyarakat juga harusnya tetap ditanamkan, bahwa prioritas utama penyelenggaraan homeschooling bukan pada prestise pembiayaan melainkan pada komitmen dan kreativitas untuk menjalankan pendidikan alternatif. Bahkan, dengan biaya minim, homeschooling dapat diselenggarakan dengan tetap bersandar pada kemandirian, komitmen, dan kreativitas penyelenggara. Jika disekolah ada BOS, di homeschooling juga bakal memperoleh BOP (Bantuan Operasional Pendidikan) dengan perincian paket A (SD) untuk perorang pertahun mendapat bantuan warga belajar Rp. 238.000,- dan bahan ajar Rp. 74.000,-  paket B (SMP) Rp. 260.000,- dan Rp. 80.000,- paket C (SMA) Rp. 285.000,- dan Rp. 84000,-.[10]
Penyelenggara homeschooling juga tidak perlu khawatir lagi mengenai ijazah, karena peserta didik juga tetap dapat mengikuti ujian kesetaraan (paket A, B, dan C) untuk melanjutkan pendidikan ketingkat perguruan tinggi dan pendidikan reguler yang setara. Oleh karena itu, persekolahan dirumah dapat didaftarkan ke dinas pendidikan setempat sebagai kemunitas pendidikan informal sehingga pesertanya kemudian dapat mengikuti ujian nasional kesetaraan.
Dalam hal terpenuhinya output dari penyelenggaraan pendidikan, homeschooling memiliki potensi besar untuk mengembangkan keahlian dan ketrampilan anak, mengingat sifat pendidikan homeschooling yang dapat disesuaikan dan fleksibel sehingga dapat didesain khusus untuk memenuhi kebutuhan anak.
Di samping begitu banyaknya keunggulan homeschooling, juga memiliki beberapa kelemahan. Misalnya saja untuk kembali ke proses pendidikan formal maka anak tersebut harus mengikuti ujian persamaan pada tingkat tertentu yang tentu saja hal ini tidak perlu dilakukan dalam pendidikan konvensional, selain itu juga tidak ada kompetensi untuk bersaing. Tapi keunggulannya yang paling dominan adalah dengan terbatasnya jumlah peserta didik maka tutor bisa langsung fokus pada potensi masing-masing anak peserta didik.
Ada beberapa hal yang perlu diluruskan tentang mitos-mitos keliru tentang homeschooling. Misalnya saja anggapan masyarakat bahwa homeschooler kurang bersosialisasi dan tidak realistis terhadap dunia. Padahal bersosialisasi berarti berinteraksi dengan individu, tidak harus dengan mereka yang sebaya saja. Homeschooler berinteraksi dengan siapa saja. Mereka diajar untuk bisa menempatkan diri di lingkungan mana pun dengan siapa pun dan menjalin hubungan bukan karena diharuskan tetapi karena kesadaran bahwa hubungan antar manusia itu memiliki makna. Kemudian anggapan bahwa homeschooling tidak cukup belajar karena tidak meluangkan waktu sebanyak waktu disekolah. Padahal jumlah waktu tidak menjadi tolak ukur pembelajaran apalagi kalau jumlah waktu itu ditetapkan sebagai bentuk pemaksaan. Dan juga persepsi masyarakat bahwa homeschooler tidak mampu berkompetisi, kenyataannya, kompetisi tidaklah dipandang sebagai usaha menjatuhkan siapa saja, tetapi lebih kepada usaha melihat kekuatan dan kelemahan diri sendiri dan orang lain sehingga dengan bekal penerimaan ini anak sadar akan pentingnya sinergi dengan orang lain. Kompetisi bertaraf internasional sebagai ajang menilai kemampuan juga bebas diikuti oleh homeschooler. Misalnya saja, Speeling Bee yang beberapa tahun beruturut-turut dimenangkan oleh homeschooler, yaitu anak-anak yang tidak pernah “menginjakkan” kakinya disekolah.



[1] http/www. pancasila-sebagai-falsafah-bangsa.html
[2] Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Fokusmedia, Bandung 2003
[3] Mulyadi, Seto. Homeschooling Keluarga kak Seto. (Bandung: Mizan Media Utama. 2007) hlm. 35
[4] Satmoko, Budi Santoso. Sekolah Alternatif Mengapa Tidak? (Jakarta : diva press. 2010) hlm. 68
[5] Republika, edisi ahad, 21 Januari 2007.
[6] Abe, Saputra. Rumahku Sekolahku. (Yogyakarta: GRHA Pustaka, 2007). Hlm.13
[7] Indra Akuntono. Homeschooling itu lebih baik.(dalam Harian Kompas Edisi Kamis, 22 Agustus 2011)
[8] Sarie Febriane/ Clara Wresti, Rumah Kelasku, Dunia Sekolahku, Harian Kompas, 13 Maret 2005
[9] Pendidikan Kesetaraan Mencerahkan Anak Bangsa” Direktorat Pendidikan Kesetaraan, Dirjen Pendidikan Luar Sekolah, Departemen Pendidikan Nasional, 2006.
[10] Mulyadi, Seto. Homeschooling Keluarga kak Seto. (Bandung: Mizan Media Utama. 2007) hlm.43

Tidak ada komentar:

Posting Komentar