By : Maulawiyah
Pergulatan dalam mengarungi kehidupan tentu tidak lepas dari
masalah-masalah sosial yang merupakan konsekuensi logis dari hubungan
keterkaitan manusia yang melingkupinya. Dimana permasalahan akan terus
berkembang dan semakin kompleks sesuai dengan zamannya yang tentu tidak sama
antara yang dahulu dengan sekarang.
Perbedaan yang muncul dalam masalah sosial ini tidak lain memiliki keterkaitan yang sangat
dekat dengan nilai-nilai moral dan pranata-pranata sosial, yang diketahui bahwa
moralitas sangatlah urgen dalam mempengaruhi dan menentukan arah kesejahteraan,
rasa aman sebuah komunitas masyarakat atau bangsa. Sebagaimana yang dikemukakan
oleh Leslie bahwa masalah-masalah sosial adalah suatu kondisi yang mempunyai
pengaruh kepada kehidupan manusia sebagaian besar masyarakat sebagai sesuatu
yang tidak diinginkan dan tidak disukai.
Berkehidupan layak, serba berkecukupan dari berbagai sisi kehidupan tentu menjadi idaman bagi seluruh
individu dalam suatu komunitas baik besar maupun kecil, baik berupa materi
fisik seperti halnya kebutuhan sandang pangan atau nonfisik berupa pergaulan,
cara bertingkah laku, dan sebagainya. Moralitas pergaulan dan kebutuhan
sosio-ekonomi menjadi ujung tombak dari suatu keniscayaan menuju kebahagiaan
yang tercukupi baik kebutuhan yang berupa materi serta rasa aman yang tetap harus
terjaga sepanjang real kehidupan yang jauh dari sikap-sikap anarkis dan gaya
trend masa kini yang lebih condong pada kerusakan moral.
Moralitas adab ketimuran yang merupakan produk negeri ini adalah kemurnian
ajaran nenek moyang yang luhur, yang patut kita lestarikan keberbudayaannya,
melihat yang terjadi kini adalah tidak sedikit dari anak bangsa yang tidak
mengindahkan keindahan moralitas tersebut baik ditinjau dari sisi agama ataupun
adat istiadat.
Melihat
fenomena diatas, tentunya kita berupaya bagaimana mencari jalan keluar yang
efektif, efisien dan lebih penting lagi bagaimana metode pemecahan tersebut
benar-benar memandang bibit persoalan di atas dengan kompleks tidak
meninggalkan peran sosialisme yang lain. Tetapi islam lebih memandang konsep
perdamaian tanpa bertendensi kepada perbedaan agama, ras, kebudayaan, serta
adat istiadat yang terkadang dijadikan sumber konflik. Islam mencoba
menampilkan sistem sosial yang memandang masalah moral
sangat sentral, untuk itu lewat peran diterapkannya ma’had sebagi wadah pembentukan karakteristik moral
individu dalam kaca mata islam, memberikan kontribusi konsep pemikiran atas
gejolak realitas diatas. Ma’had sendiri itu adalah lembaga pendidikan
tradisional islam untuk mempelajari, memahami, menghayati, dan mengamalkan
ajaran islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman
perilaku sehari-hari yang disebut Tafaqquh Fiddin.[1]
Penyelenggara lembaga pendidikan Ma’had berbentuk asrama yang merupakan
komunitas tersendiri dibawah pimpinan kyai atau ulama dibantu oleh beberapa ustadz yang hidup bersama ditengah
para santri dengan masjid sebagai pusat kegiatan peribadatan agama, gedung
sekolah/perkuliahan sebagai pusat
kegiatan belajar, dan pondok sebagai pusat tempat tinggal para santri. Dalam
dunia ma’had, seluruh penghuninya dalam menjalani keseharian berlandaskan
nilai-nilai agama islam lengkap dengan norma-norma dan kebiasaannya tersendiri,
yang secara eksklusif berbeda dengan masyarakat umum yang mengitarinya.
Ma’had sebagai salah satu lembaga
pendidikan agama tentu juga memiliki target yang sama dalam penyelenggaraan
pendidikannya. Pembentukan manusia seutuhnya merupakan tujuan pendidikan yang
diamanahkan Undang-Undang Pendidikan Nasional, UU sisdiknas Nomor 20 Tahun
2003 mengamanahkan bahwa fungsi pendidikan adalah kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa. Tujuan pendidikan adalah untuk berkembanganya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga
Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Fungsi
dan tujuan pendidikan sebagaimana amanah UU sisdiknas nomor 20 Tahun 2003
merupakan amanah yang harus dijalankan dan dipenuhi oleh lembaga pendidikan di
Indonesia, termasuk juga ma’had
(pesantren) di dalamnya. Mau tidak mau, ma’had harus dapat menjalankan fungsi dan tujuan pendidikan yang
telah diamanatkan undang-undang pendidikan, sebab pesantren telah menjadi bagian
dari sistem pendidikan Nasional. Pasal 30 UU sisdiknas menyebutkan bahwa
“Pendidikan keagamaan berbetuk pendidikan diniyah, ma’had, pasraman, pabhaja samanera, dan
bentuk lainnya yang sejenis”. Pada pasal ini terlihat jelas bahwa adanya
pengakuan terhadap institusi pesantren sebagai penyelenggara pendidikan
keagamaan.
PP
Nomor 55 Tahun 2007, merupakan peraturan pemerintah yang lahir untuk
memperjelas amanah UU sisdiknas tahun 2003, dalam PP ini juga memperjelas fungsi
dan tujuan pesantren sebagai bahagian yang tak terpisahkan dalam sistem
pendidikan nasional. Pasal 26 ayat 1, 2 dan 3 PP Nomor 55 Tahun 2007
menjelaskan secara rinci tentang pesantren, dan memberikan legitimasi yuridis
terhadap eksistensi pesantren. Dalam ayat 3 pasal ini disebutkan bahwa “Peserta
didik dan/atau pendidik di pesantren yang diakui keahliaanya di bidang ilmu
agama tetapi tidak memiliki ijazah pendidikan formal dapat menjadi pendidik
mata pelajaran/kuliah pendidikan agama di semua jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan yang memerlukan, setelah uji kompetensi sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan”
Ajaran agama Islam juga menegaskan, bahwa melaksanakan
pendidikan agama adalah merupakan perintah dari Tuhan dan merupakan ibadah
kepadaNya. Seperti yang terkandung
dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 104, yang berbunyi:
Artinya: “Hendaklah ada diantara kamu, segolongan
umat yang mengajak kepada kebaikan, menyuruh berbuat baik dan mencegah dari
perbuatan yang mungkar dan mereka itulah orang-orang yang beruntung”.[2]
Ayat tersebut memberikan pengertian bahwa Islam menganggap penting sekalipun
memerintahkan kepada umat Islam untuk menyampaikan ajarannya/ melaksanakan
pendidikan Islam kepada umat manusia sesuai dengan kemampuannya (walupun hanya
sedikit). Dengan demikian, seharusnyalah kalau ma’had menjadi lembaga pendidikan Islam dalam merealisasikan perintah
tersebut.
Universitas Islam Negeri (UIN) Malang sendiri menjadi salah satu
universitas yang menjalankan sistem
pendidikan ma’had yang saat ini dijadikan sebagai
landasan awal untuk meneropong moralitas bangsa di masa depan. Moralitas masa
depan bangsa menjadi sangat penting untuk diteropong, karena didasarkan pada
asumsi awal sebagian pakar yang berpendapat bahwa salah satu faktor penyebab
atau “biang keladi” terjadi dan berlangsungnya krisis multidimensional negara
Indonesia adalah masalah moralitas bangsa yang sangat "amburadul" dan
tidak "karu-karuan".
Ma’had yang dijalankan di UIN Malang juga memandang bahwa keberhasilan
pendidikan mahasiswa adalah apabila mereka memiliki identitas sebagai seseorang
yang mengetahui ilmu pengetahuan yang luas, penglihatan yang tajam, otak yang
cerdas, hati yang lembut dan semangat tinggi karena Allah. Kegiatan pendidikannya ditargetkan pada
kemampuan membangun lingkungan islam yang mampu menumbuhsuburkan moralitas dan
intelektualitas yang berakhlakul karimah bagi setiap civitas akademika.
Untuk mewujudkan hal tersebut, salah satunya adalah dibutuhkan keberadaan
ma’had yang secara intensif mampu memberikan resonansi dalam mewujudkan lembaga
pendidikan tinggi islam yang ilmiah dan religius, sekaligus sebagai bentuk
penguatan terhadap pembentukan lulusan yang intelek-profesional dan bermoral
akhlakul karimah. Hal ini memberikan sumbangan besar bagi bangsa ini melalui
alumninya dalam mengisi pembangunan manusia seutuhnya. Dengan demikian,
keberadaan ma’had dalam komunitas perguruan tinggi Islam merupakan keniscayaan
yang akan menjadi pilar penting dari bangunan akademik.
Pendirian ma’had dalam lingkup UIN Malang dirasa sangat urgen bagi upaya
merealisasikan semua program kerjanya secara integral dan sistematis, sejalan
dan sinergis dengan visi dan misi UIN Malang. Dalam meningkatkan kualitas
Sumber Daya Manusia (SDM), ma’had UIN Malang yang diberi nama Ma’had Sunan
Ampel al-‘Aly (MSAA) mempunyai beberapa program yang difokuskan untuk
pengembangan kompetensi akademik mahasantri. Contohnya Ta’lim al-Afkar
al-Islami, Ta’lim al-Qur’an, Khatm al-Qur’an, Shabah al-Lughah.
Disamping itu semua, tentunya tak lepas akan adanya berbagai kontroversi
yang mengkritik terhadap keberadaan ma’had MSAA di UIN Malang. Ada yang
beranggapan bahwa pendidikan di ma’had merupakan budaya pesantren yang mencetak
generasi tidak jelas karena didalam inputnya saja terdapat unsur keterpaksaan
dimana mahasiswa harus berada di ma’had selama satu tahun terutama bagi
sebagian dari mereka belum pernah merasakan dunia ma’had. Otomatis hal ini
menimbulkan tekanan sehingga tak heran jika mereka keluar dari ma’had, akan ada
unsur lari dari keterkekangan dan mencari kebebasan hingga melampaui batas dan melupakan pelajaran apa yang didapat selama
setahun di ma’had.
Belum lagi kehidupan di ma’had yang kurang ada batasannya, mahasantri tetap
bisa berkecimpung di dunia luar, tetap bisa bergaul bebas dengan siapa saja
diluar ma’had. Para mahasantri tidak lagi melaksanakan kewajibannya sebagai
seorang santri di sebuah asrama. Mereka menginginkan bisa bebas karena merasa
bosan dengan kehidupan asrama. Mereka mulai bertindak bebas di luar asrama. Sehingga banyak ditemui
santri yang jauh dari moral. Padahal ia adalah mahasantri yang setiap harinya
mendapat siraman islam.
Begitu juga problematika lain jika kita pandang dari segi psikologi
perkembangan remaja seumuran 18-20 tahun, dimana saat itu sering terjadi
kondisi yang tidak labil dan kebingunan dalam rangka menemukan identitas dan
jatidiri remaja. Kondisi ini diperparah dengan semakin banyaknya tuntutan yang
harus mereka hadapi, harus menguasai seluruh materi kuliah dan juga seluruh
materi yang diberikan saat di ma’had. Adanya unsur keterpaksaan dalam
menjalankan tugas pun tidak bisa dihindari sehingga ilmu yang mereka peroleh
tidak bisa dipahami secara maksimal.
Namun dibalik itu semua, realita yang ada mengenai keberadaan ma’had di UIN
Maliki Malang ini eksistensinya telah mendapat pengakuan masyarakat bahkan
mendapat banyak dukungan positif. Karena inilah jalan yang bisa ditempuh untuk memunculkan nilai-nilai spiritualitas sehingga makna hidup pun dapat tercapai.
Mahasantrinya yang juga merupakan seorang remaja pun akan memiliki esensi untuk
melakukan hal-hal yang positif dan meminimalisir bahkan mencegah mereka akan
masuknya pergaulan bebas yang sekarang ini semakin gampang menjerumuskan remaja
kearah hal yang negatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar