Lidah orang berakal di belakang hatinya, dan hati orang bodoh di belakang lidahnya. ketahuilah lidah laksana seekor binatang buas. jika kalian lepaskan pasti dia akan membunuh.


mawlawiyah

Minggu, 16 Oktober 2011

Menyoroti Sekolah Berstandar Internasional (SBI) dan Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) di Indonesia


Pendidikan nasional Indonesia adalah suatu sistem yang mengatur dan menentukan teori dan praktek pelaksanaan pendidikan yang berdiri di atas landasan dan dijiwai oleh filsafat bangsa Indonesia yang diabadikan demi kepentingan bangsa dan negara Indonesia guna memperlancar mencapai cita-cita nasional Indonesia.
Dalam upaya memajukan pendidikan nasional Indonesia, tentunya tidak asing lagi ditelinga kita tentang kebijakan pemerintah mendirikant Sekolah Berstandar Internasional (SBI) dan Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) yang mekanisme pelaksanaannya di Indonesia sesuai dengan UU pendidikan  no.20 tahun 2003 tentang pendidikan nasional.
Latar belakang SBI sebenarnya dari sebuah sekolah di Jakarta, yang tujuannya untuk memfasilitasi keluarga dengan berbasic inggris, keluarga diplomat luar negeri dan kedutaan asing. Sudah jelas hanya untuk orang yang memiliki kemampuan biaya lebih untuk pendidikan anak. Namun sejarah dihembuskannya pelaksanaan SBI dan RSBI mulai diterapkan pada tanggal 6 agustus 2005 yang diadopsi dari university of Cambridge International Examination. Semua itu dilakukan untuk mengatasi problematika bangsa, untuk menyesuaikan taraf pendidikan tingkat Internasional yang di Indonesia sendiri ini masih jauh.
Pelaksanaan SBI dan RSBI mengacu pada pasal 50 ayat 3 UU tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang menyatakan : ”pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi sekolah yang bertaraf internasional.” Selanjutnya dalam pasal 61 ayat 1 PP No. 19 tahun 2005 tentang standar nasonal pendidikan dinyatakan : “Pemerintah bersama-sama pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu sekolah pada jenjang pendidikan dasar dan sekurang-kurangnya satu sekolah pada jenjang pendidikan menengah untuk dikembangkan menjadi sekolah bertaraf internasional. Jadi keputusan diterapkannya RSBI dan SBI ini sudah ada dan jelas landasan hukumnya.
Realita yang ada, baik itu dari media masa ataupun opini masyarakat menyatakan bahwa adanya SBI dan RSBI ini hanyalah sebuah bentuk diskriminatif terhadap masyarakat Indonesia. Yang dalam pelaksanaan terdapat unsur paksaan mulai dari biaya yang relatif sangat mahal dan juga penggunaan bahasa yang dipakai yaitu berbahasa Inggris yang tentunya dapat menghilangkan budaya berbahasa kebangsaan yaitu bahasa Indonesia. Fasilitas dalam sekolah SBI ataupun RSBI memang tidak diragukan lagi kelengkapannya. Tapi ini yang justru memerlukan banyak dana sehingga menjadi problematika. Penggunaan dana yang besar hanya untuk satu sekolah dan perlahan mengabaikan sekolah dengan mutu pendidikan yang masih rendah dan membutuhkan berbagai fasilitas untuk menunjang pembelajaran. Secara otomatis terjadi penyimpangan terhadap sila ke-5 pancasila yang berbunyi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
RSBI dan SBI juga sering terbukti sebagai alat pemeras belaka, sebuah otorita yang menarik biaya yang tidak realistis. Para orang tua murid harus membayar mahal kepada manajemen sekolah yang sangat jauh dari kualifikasi Internasional. SPP mencapai 1,5 hingga 2 juta perbulan. Padahal proyek ini menelan anggaran pemerintah mencapai Rp.200 juta per sekolah untuk SD, Rp.300 juta per sekolah untuk SMP, Rp.600 juta per sekolah untuk SMA, Rp.100 juta per sekolah untuk SMK, dan Rp.1 miliar hingga Rp.2 miliar untuk SMK investasi. Anggaran tersebut merupakan jumlah bantuan block grant untuk tahun 2010. Anggaran ini diperuntukkan bagi 1.172 RSBI dan SBI di Indonesia.
RSBI/SBI adalah proyek pendidikan yang menghancurkan tatanan pendidikan Nasional yang telah dibangun selama ini. UU No.20 Tahun 2003 adalah UU yang dimasuki pemikiran asing untuk memahalkan pendidikan Nasional sehingga banyak anak bangsa yang tidak dapat mengenyam sampai pendidikan tinggi.
Sisi yang paling menonjol dalam SBI dan RSBI adalah segi bahasa, yaitu menggunakan bahasa asing yang lebih tepatnya bahasa Inggris. Penerapan bahasa asing ini dianggap telah mengikis tradisi kebudayaan di Indonesia yaitu meninggalkan bahasa induk. Padahal bahasa Indonesia sudah dipatenkan dan digunakan sebagai bahasa keseharian Indonesia. Terjadi indoktrinasi  dan penyisipan budaya westernisasi, bertentangan dengan isi sumpah pemuda yang sangat menjunjung tinggi bahasa Indonesia.
Selama pembelajaran dipaksa menggunakan bahasa asing dianggap tidak rasional. Siswa yang rata-rata dalam fase remaja awal hingga akhir mendapat tuntutan harus menguasai semua materi pelajaran. Menggunakan bahasa Indonesia saja masih belum bisa mencapai target kesuksesan yang memuaskan, apalagi dengan berbahasa Inggris. Hal ini tentunya berdampak pada psikis remaja, dimana terjadi kecemasan yang berlarut dan mendalam. Mereka akan mengalami haps orientation atau ketidakberdayaan. Dalam teori behavioristik menyatakan bahwa jika seseorang sedang dalam perasaan tidak berdaya, maka kesuksesan pun tidak akan tercapai.
Salah satu pengawas pendidikan juga ada yang tidak setuju dengan program SBI dan RSBI. Indonesia begitu latta, cuma bisa meniru program pendidikan luar negeri, padahal belum tentu yang ditiru itu baik dan sesuai dengan kondisi Indonesia. Kebijakan itu menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia tidak percaya dengan pendidikan nasional yang telah lama berjalan. RSBI, SBI merupakan komersialisasi pendidikan menengah. Sebaiknya kelas SBI menjadi swasta saja diluar kelas reguler.
Dapat kita lihat bahwa keinginan dari para kepala sekolah untuk jadi SBI adalah untuk menghindar dari program BOS karena tingkat pengawasan yang tinggi sulit untuk korupsi, dalam SBI kepala sekolah dengan gampangnya menentukan uang sekolah SBI dengan alasan ruang ber AC serta kelengkapan lainnya. Padahal para gurunya tidak memenuhi kriteria guru Internasional, bahkan para guru masih belajar Bhs. Inggris dan sibuk buka-buka kamus. Bagaimana mungkin guru SBI mampu memberikan pengertian materi pelajaran dan begitu juga para siswa akan sangat sulit memahami pelajaran dalam bhs.Inggris yang kualifikasinya masih ditertawakan. SBI adalah program gengsi yang pasti akan gagal.
Dalam proses berjalannya SBI selama 2 tahun ini, akan sangat mempengaruhi degradasi kualifikasi pendidikan kita. Output yang dihasilkan pun juga masih relatif biasa saja dengan yang sekolah biasa, bahkan masih lebih baik sekolah pinggiran yang konsep pembelajarannya sesuai dengan keadaan Indonesia. Itu terbukti yang berhasil memenangkan kejuaraan olimpiade tingkat internasional kebanyakan dari sekolah biasa.
Kurikulum yang diterapkan dalam SBI ataupun RSBI adalah mengacu pada negara yang diadopsi. Seorang pengamat pendidikan internasional, Jack C. Richard mengatakan bahwa kurikulum merupakan filosofi, tujuan, desain, dan implementasi suatu program. Saat filosofi, tujuan, dan desain program diimpo, sebutlah dari Negara A, secara mentah-mentah yang terjadi adalah filosofi, tujuan dan desain program belumlah tentu sesuai dengan keadaan di Indonesia. Keadaan Negara A tidak akan pernah sama dengan keadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Apa yang membuat kita yakin filosofi itu dapat mentah-mentah diterapkan untuk anak-anak Indonesia yang sedianya menjadi generasi penerus kita? Apakah kita sadar, filosofi yang terbentuk akan mempersiapkan peserta didik kita sebagai manusia-manusia Indonesia yang semestinya akan berpikir global namun bertindak lokal? Sadarkah kita bahwa penerapan kurikulum asing sama bahayanya dengan penerapan idiologi asing jika tak pandai-pandai kita memilah isinya.
Setelah latah menggunakan kurikulum asing, maka beberapa sekolah menjadi korban mangsa penerbit internasional yang melakukan gerakan ekspansi ke Indonesia. Sasaran paling empuk sang penerbit asing adalah sekolah-sekolah yang kebingungan karena hanya diberi target 2 tahun untuk mempersiapkan diri menjadi Sekolah Bertaraf Internasional. Langkah gegabah yang diambil, tidak berhenti pada pembelian kurikulum, tapi memborong buku yang bertuliskan “ berdasarkan kurikulum negara A” dengan harapan penggunaan buku impor itu melegitimasi label “ Sekolah Bertaraf Internasional”. Apa yang terjadi? Guru kebingungan karena tak mengerti “jiwa” buku itu , atau malah jadi pening karena buku itu ternyata menggunakan bahasa pengantar bahasa asing. Celakalah jika kemampuan guru dalam bahasa asing benar-benar nol. Bagaimana bisa mengajar dengan buku impor itu? Jikapun ada guru yang mampu cas-cis-cus berbahasa asing, apakah siswanya siap diajarkan dengan buku impor? Jika diterangkan suatu konsep dalam bahasa Indonesia saja siswa masih kesulitan, bagaimana mungkin akan mengerti buku teks yang ditulis dalam bahasa asing? Jika kesulitan belajar di rumah, apakah orang tua bisa membantu?
Belum lagi masalah UUD: ujung-ujungnya duit. Materi impor sama dengan harga impor. Apakah siswa berkemampuan membayar? Jika tidak, apakah sekolah berhak memaksa? Apa urgensinya pemakaian buku impor di sekolah katakanlah di lereng bukit suatu kabupaten? Bersediakah kita mengorbankan kemampuan membayar orang tua siswa demi suatu gengsi disebut sekolah internasional karena mempergunakan buku dari Negara A? Bukankah akan terjadi diskriminasi kesempatan dikarenakan kemampuan membayar?
Dibalik itu semua, apabila kita mengutip dalam al-Qur’an surat ar-Ra’d ayat 11 yaitu:

Yang artinya : “...sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sebelum mereka merubah keadaan mereka sendiri...”
Ayat tersebut bisa jadi pegangan mengenai kebijakan diadakannya SBI dan RSBI. Jika ada anggapan bahwa Indonesia adalah negara tertinggal, maka inilah jawabannya. Konsep SBI menjadi salah satu jalan penyetaraan pendidikan internasional dan merupakan tuntutan pasar global yang nantinya bisa jadi solusi apabila kita ingin memperdalam ilmu, tidak perlu jauh-jauh kenegara lain, tetapi cukup dinegara sendiri yang setara dengan pendidikan luar negeri.
Bahasa asing yang berbeda tidaklah menjadi alasan utama atas kontra terhadap kebijakan SBI dan RSBI. Banyak pepatah  yang mengatakan bahwa jika kita menguasai bahasa, maka kita bisa menguasai dunia. Biaya juga bukanlah kendala, buktinya banyak sekolah pinggiran yang menjadikan SBI sebagai target kedepan, juga masih banyak orang desa yang berbondong-bondong ingin memasukkan anak meraka ke sekolah SBI. Pemerintah juga sudah menyiapkan beasiswa bagi anak berprestasi dan kurang mampu. Sistem SBI sudah sesuai dengan manajemen berbasis sekolah. Sekalipun jika ada penyelewengan dan otoritas yang tidak sesuai, itu bukan karena sistemnya, tapi karena human eror. Apabila pelakunya sudah menyeleweng dari tujuan utama, otomatis akan gagal meskipun sistem pengajaran sudah sesuai dengan konsep SBI.
Pemerintah sendiri juga bukan tanpa sebab dan tapa landasan hukum dalam merintis sekolah bertaraf internasional. Hal yang menjadi sebab salah satunya adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia agar setara dengan negara-negara lain sehingga menghasilkan mutu lulusan yang memiliki daya saing tinggi di kancah internasional. Semangat pendirian SBI merupakan keinginan kuat bangsa ini untuk mengejar ketertinggalan kita dengan bangsa lain dalam hal kualitas sumber daya manusia. Sebagai bangsa kita ingin duduk sama rendah berdiri sama tinggi dengan bangsa maju lainnnya di dunia. Kita ingin keluar dari kelompok negara berkembang (negara tidak maju) yang sudah sangat lama disematkan kepada kita, dan entry point pentingnya adalah dengan terus menerus meningkatkan kualitas pendidikan kita. Kemunculan SBI kemudian diharapkan bisa menghasilkan lulusan yang berkelas (berkualitas) nasional dan internasional sekaligus.
Menyikapi berbagai pro dan kontra yang ada tentang SBI dan RSBI, pada intinya seluruh elemen pendidikan (pemerintah, masyarakat, pengelola, dll) harus bisa meningkatkan kapasitas dan komitmennya untuk memajukan pendidikan di Indonesia. Perubahan di dunia pendidikan bisa diterapkan melalui RSBI dan SBI yang mampu menjamin sebuah output yang memiliki kecakapan tinggi dan memberi kontribusi yang besar untuk kemajuan pendidikan Indonesia. Namun apabila pendidikan dirasa masih saja kurang merata, kebijakan tersebut haruslah tidak dipaksakan. Sebagai acuan dalam merevitalisasi pendidikan lokal bisa mengutamakan international view dan standarisasi kultur pendidikan berbasis international yang tetap menjunjung tinggi kebudayaaan Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar