Lidah orang berakal di belakang hatinya, dan hati orang bodoh di belakang lidahnya. ketahuilah lidah laksana seekor binatang buas. jika kalian lepaskan pasti dia akan membunuh.


mawlawiyah

Selasa, 06 Desember 2011

Neoliberalisme


NEOLIBERALISME. Tiba-tiba saja mencuat menjadi wacana hangat di tengah-tengah masyarakat. Pemicunya adalah munculnya nama Boediono sebagai calon wakil presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pemilihan presiden yang akan datang. Menurut para penentang mantan Gubernur Bank Indonesia tersebut, Boediono seorang ekonom yang menganut paham ekonomi neoliberal, sebab itu ia sangat berbahaya bagi masa depan perekonomian Indonesia.
Tulisan ini tidak bermaksud mengupas Boediono atau paham ekonomi yang dianutnya. Tujuan tulisan ini adalah untuk menguraikan pengertian, asal mula, dan perkembangan neoliberalisme secara singkat. Saya berharap, dengan memahami neoliberalisme secara benar, silang pendapat yang berkaitan dengan paham ekonomi ini dapat dihindarkan dari debat kusir. Sebaliknya, para ekonom yang jelas-jelas mengimani neoliberalisme, tidak secara mentah-mentah pula mengelak bahwa dirinya bukan seorang neoliberalis.
Sesuai dengan namannya, neoliberalisme adalah bentuk baru dari paham ekonomi pasar liberal. Sebagai salah satu varian dari kapitalisme yang terdiri dari merkantilisme, liberalisme, keynesianisme, neoliberalisme dan neokeynesianisme, neoliberalisme adalah sebuah upaya untuk mengoreksi kelemahan yang terdapat dalam liberalisme.
Sebagaimana diketahui, dalam paham ekonomi pasar liberal, pasar diyakini memiliki kemampuan untuk mengurus dirinya sendiri. Karena pasar dapat mengurus dirinya sendiri, maka campur tangan negara dalam mengurus perekonomian tidak diperlukan sama sekali. Tetapi setelah perekonomian dunia terjerumus ke dalam depresi besar pada tahun 1930-an, kepercayaan terhadap paham ekonomi pasar liberal merosot secara drastis. Pasar ternyata tidak hanya tidak mampu mengurus dirinya sendiri, tetapi dapat menjadi sumber malapetaka bagi kemanusiaan. Depresi besar 1930-an tidak hanya ditandai oleh terjadinya kebangkrutan dan pengangguran massal, tetapi bermuara pada terjadinya Perang Dunia II.
Menyadari kelemahan ekonomi pasar liberal tersebut, pada September 1932, sejumlah ekonom Jerman yang dimotori oleh Rustow dan Eucken mengusulkan dilakukannya perbaikan terhadap paham ekonomi pasar, yaitu dengan memperkuat peranan negara sebagai pembuat peraturan. Dalam perkembangannya, gagasan Rostow dan Eucken diboyong ke Chicago dan dikembangkan lebih lanjut oleh Ropke dan Simon.
Sebagaimana dikemas dalam paket kebijakan ekonomi ordoliberalisme, inti kebijakan ekonomi pasar neoliberal adalah sebagai berikut: (1) tujuan utama ekonomi neoliberal adalah pengembangan kebebasan individu untuk bersaing secara bebas-sempurna di pasar; (2) kepemilikan pribadi terhadap faktor-faktor produksi diakui dan (3) pembentukan harga pasar bukanlah sesuatu yang alami, melainkan hasil dari penertiban pasar yang dilakukan oleh negara melalui penerbitan undang-undang (Giersch, 1961). Tetapi dalam konferensi moneter dan keuangan internasional yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di Bretton Woods, Amerika Serikat (AS) pada 1944, yang diselenggarakan untuk mencari solusi terhadap kerentanan perekonomian dunia, konsep yang ditawarkan oleh para ekonom neoliberal tersebut tersisih oleh konsep negara kesejahteraan yang digagas oleh John Maynard Keynes.
Sebagaimana diketahui, dalam konsep negara kesejahteraan atau keynesianisme, peranan negara dalam perekonomian tidak dibatasi hanya sebagai pembuat peraturan, tetapi diperluas sehingga meliputi pula kewenangan untuk melakukan intervensi fiskal dan moneter, khususnya untuk menggerakkan sektor riil, menciptakan lapangan kerja dan menjamin stabilitas moneter. Terkait dengan penciptaan lapangan kerja, Keynes bahkan dengan tegas mengatakan: ”Selama masih ada pengangguran, selama itu pula campur tangan negara dalam perekonomian tetap dibenarkan.”
Namun kedigdayaan keynesianisme tidak bertahan lama. Pada awal 1970-an, menyusul terpilihnya Reagen sebagai presiden AS dan Tatcher sebagai Perdana Menteri Inggris, neoliberalisme secara mengejutkan menemukan momentum untuk diterapkan secara luas. Di Amerika hal itu ditandai dengan dilakukannya pengurangan subsidi kesehatan secara besar-besaran, sedang di Inggris ditandai dengan dilakukannya privatisasi BUMN secara massal.
Selanjutnya, terkait dengan negara-negara sedang berkembang, penerapan neoliberalisme menemukan momentumnya pada akhir 1980-an. Menyusul terjadinya krisis moneter secara luas di negara-negara Amerika Latin. Departemen Keuangan AS bekerja sama dengan Dana Moneter Internasional (IMF), merumuskan sebuah paket kebijakan ekonomi neoliberal yang dikenal sebagai paket kebijakan Konsensus Washington. Inti paket kebijakan Konsensus Washington yang menjadi menu dasar program penyesuaian struktural IMF tersebut adalah sebagai berikut: (1) pelaksanaan kebijakan anggaran ketat, termasuk kebijakan penghapusan subsidi; (2) liberalisasi sektor keuangan; (3) liberalisasi perdagangan; dan (4) pelaksanaan privatisasi BUMN.
Di Indonesia, pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal secara masif berlangsung setelah perekonomian Indonesia dilanda krisis moneter pada 1997/1998 lalu. Secara terinci hal itu dapat disimak dalam berbagai nota kesepahaman yang ditandatatangani pemerintah bersama IMF. Setelah berakhirnya keterlibatan langsung IMF pada 2006 lalu, pelaksanaan agenda-agenda tersebut selanjutnya dikawal oleh Bank Dunia, ADB dan USAID.
Menyimak uraian tersebut, secara singkat dapat disimpulkan, sebagai bentuk baru liberalisme, neoliberalisme pada dasarnya tetap sangat memuliakan mekanisme pasar. Campur tangan negara, walau pun diakui diperlukan, harus dibatasi sebagai pembuat peraturan dan sebagai pengaman bekerjanya mekanisme pasar. Karena ilmu ekonomi yang diajarkan pada hampir semua fakultas ekonomi di Indonesia dibangun di atas kerangka kapitalisme, maka sesungguhnya sulit dielakkan bila 99,9 persen ekonom Indonesia memiliki kecenderungan untuk menjadi penganut neoliberalisme. Wallahua’lambishawab.

Organisasi Sebagai Wadah Aktualisasi Pendidikan Mahasiswa Masa Kini


By : Maulawiyah

Organisasi merupakan kesatuan sistemik berbagai bagian dan menjamin setiap bagian dalam proses organisasi memperoleh pori yang sesuai dengan kapasitas dan posisinya.[1] Organisasi dapat dirumuskan sebagai suatu kerjasama berdasarkan suatu pembagian kerja yang tetap. Hidup berkelompok pada umumnya membutuhkan suatu perkumpulan atau organisasi. Didalam UUD'45 pasal 28E ayat 3 sudah dijelaskan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.[2] Dalam hal ini berorganisasi disebutkan dengan istilah berserikat, sedangkan apabila kerjasamanya tidak permanent disebut berkumpul.
Sedangkan organisasi kemahasiswaan adalah organisasi dalam naungan perguruan tinggi yang berfungsi sebagai wahana dan sarana pengembangan diri mahasiswa ke arah perluasan wawasan, peningkatan kecendikiawanan, dan integritas kepribadian untuk mencapai tujuan perguruan tinggi.[3]  Organisasi berperan sebagai wadah aktualisasi dan pengembangan diri dalam rangka mengembangkan softskills dan karakter kepemimpinan mahasiswa.
Dalam suatu organisasi khususnya organisasi mahasiswa, bukan berarti yang memiliki banyak anggota dan tidak pernah terjadi konflik. Karena dengan adanya konflik akan menjadikan mereka mampu mengatasi dan memanajemen berbagai konflik yang akan bermunculan selanjutnya. Yang demikian itu akan menjadi eksistensi dan dinamika dalam organisasi yang ideal dimana terdapat beberapa tahapan seperti tahap pembentukan, konflik, pelaksanaan dan pembubaran.
Organisasi sebagai wadah yang positif untuk aktualisasi mahasiswa. Jika kita pandang dari segi psikologi, maka akan mengacu kepada aliran humanistik psikologi dengan Abraham Maslow sebagai salah satu pelopornya. [4] Psikolog humanis percaya bahwa setiap orang memiliki keinginan yang kuat untuk merealisasikan potensi-potensi dalam dirinya, untuk mencapai tingkatan aktualisasi diri.[5]
Dalam pandangan Maslow, mengatakan bahwa manusia selain membutuhkan kebutuhan fisiologis, rasa aman, dicintai, disayangi dan dihargai, manusia juga memiliki kebutuhan aktualisasi dirinya. Manusia yang mengaktualisasikan dirinya, dapat memiliki banyak pengalaman-pengalaman berharga dibanding manusia yang kurang mengaktualisasi dirinya. Mereka akan memiliki kemampuan menerima diri sendiri dan orang lain dan juga memiliki rasa segan dan rasa hormat terhadap orang lain. Dengan demikian, akan terjadi rasa persaudaraan atau Gemeinschaftsgefuhl seperti kepekaan social, simpati dan perikemanusiaan serta keterbukaan akan adanya perbedaan individual dan etnis.[6] Kalau kita melihat di dunia pendidikan dimana banyak organisasi yang bermunculan baik ekstra maupun intra, itu dikarenakan kebutuhan akan dihargai dan aktualisasi diri itu. Kondisi psikis orang yang aktif berorganisasi lebih bagus dalam rangka mencapai kepribadian yang matang dan bersosialisasi terhadap orang lain dari pada orang yang tidak berorganisasi.
Setiap individu, memiliki yang namanya motif untuk selalu bersama-sama yang tertuang dalam organisasi. Sehingga dapat dikatakan orang yang aktif dalam organisasi memiliki konsep diri yang bagus karena mereka bergabung dengan komunitas dan orang-orang yang berlatarbelakang yang berbeda-beda.
Mahasiswa tidak dapat dipungkiri merupakan garda terdepan bangsa dalam kemajuan bangsa. Tidak dapat dipungkiri juga bahwa sejarah bangsa-bangsa di dunia juga tidak pernah menisbikan peran para mahasiswa. Namun pada dewasa ini seringkali terjadi bentuk persepsi yang salah pada masyarakat awam ketika melihat bentuk-bentuk perjuangan yang dilakukan oleh mahasiswa, inipun terjadi seringkali karena kurang imbangnya pemberitaan yang dilakukan oleh media massa.
Hal ini kemudian memberikan pandangan negatif terhadap orang tua yang memiliki anak yang akan masuk kuliah atau yang sedang kuliah. Seringkali mereka mewanti-wanti agar anaknya tidak ikut-ikutan organisasi di kampus yang nanti malah mengganggu kegiatan kuliahnya. Pola pikir yang dimiliki orang tua tersebut memang sangat beralasan. Sebab mereka ingin melihat anaknya dapat lulus dengan nilai yang memuaskan selain itu, juga karena biaya pendidikan yang ada sekarang juga semakin mahal ditambah biaya hidup bagi mahasiswa yang indekos, sangat membebani bagi keluarga yang pendapatannya pas-pasan. Oleh karena itu dapat dimaklumi jika keinginan orang tua melarang anaknya untuk berorganisasi di kampus, supaya anaknya dapat segera lulus kuliah dan memperoleh masa depan yang lebih baik.
Namun cerita seperti di atas terjadi tidak kepada semua mahasiswa. Rendahnya minat mahasiswa berorganisasi juga disebabkan karena memang masih ‘enggannya’ diri mahasiswa sendiri untuk berorganisasi di kampus. Banyak alasan yang seringkali mengemuka atas ke-engganan mahasiswa berorganisasi di kampus, diantaranya ialah karena tugas kuliah sehari-hari yang sudah banyak, kegiatan organisasi yang kurang begitu menarik bagi mereka, atau karena tidak mau terbebani dengan kegiatan organisasi kampus. Dari sekian banyak alasan yang dikemukakan di atas ada faktor lain juga yang sebenarnya dapat mempengaruhi minat seorang mahasiswa untuk berorganisasi di kampus. Faktor itu adalah semakin banyak dan beranekaragam berbagai bisnis hiburan baru yang mucul di kota-kota sentra pendidikan tinggi, seperti mall, tempat nonton, dan tempat-tempat hiburan yang lain.
Telah banyak kita ketahui bahwa berorganisasi memberikan nilai positif yang akan membuat mahasiswa mendapatkan pengalaman baru yang tidak akan mungkin di dapat dari ruang kuliah saja. Berorganisasi akan memberikan ruang kepada mahasiswa untuk dapat berkreasi dan beraktivitas secara lebih luas. Mahasiswa akan banyak berinteraksi dengan orang lain yang berlatar belakang berbeda-beda. Disinilah kemampuan komunikasi dan emosi (emotional quotient) mahasiswa akan terlatih dalam menghadapi berbagai persoalan dan konflik yang terjadi. Kedewasaan berpikir mahasiswa akan semakin tumbuh seiring aktifnya berorganisasi di kampus. Bahkan seringkali pengalaman berorganisasi di kampus akan sedikit banyak membantu kawan-kawan dalam menghadapi dunia kerja setelah lulus nanti.
Sebenarnya berorganisasi di kampus jika dilakukan dengan benar juga tidak sepenuhnya akan mengganggu kegiatan kuliah yang ada. Terbukti dengan orang-orang yang berorganisasi tanpa mengganggu kegiatan kuliah bahkan prestasinya juga tidak kalah menggembirakan. Misalnya, Prof. Dr. H. Imam Suprayogo yang dulunya sewaktu mahasiswa, dia adalah orang yang aktif berorganisasi dan sekarang bisa menjabat sebagai rektor di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.
Di dalam realita berorganisasi saat ini, sepertinya banyak terjadi kekurangan dalam kaderisasi, dimana tidak ada proses penyaringan yang berarti antara anak yang berniat mengikuti organisasi maupun yang tidak niat. Asal mempunyai anggota banyak dirasa sudah cukup untuk membangun organisasi itu sendiri. Padahal banyaknya anggota saja tidak cukup, diperlukan orang-orang yang mempunyai satu visi, misi dan cara berfikir yang kritis serta kesungguhan dalam membawa nama baik dan mengembangkan organisasi itu sendiri.
Selain itu juga orang-orang yang sudah terjun di dunia organisasi, ada kalanya mereka mengikuti figur atasan yang kurang tepat. Pimpinan organisasi yang prilakunya tidak baik, dianggap tetap saja menjadi figur yang pantas ditiru oleh anggotanya karena kedudukan yang lebih tinggi dan mampu memberikan keuntungan yang menyebabkan sering terjadinya penyimpangan dari tujuan terbentuknya organisasi. Hal itu bisa menjadi contoh benih dasar kenapa para anggota wakil rakyat atau pejabat melakukan berbagai tindakan korupsi. Meski tidak menuntut kemungkinan juga selain berorganisasi yang salah, tetapi juga bagaimana parenting dan masa lalu mereka yang kurang bagus.
Pola pikir sebagian aktivis mahasiswa yang seringkali salah kaprah, karena terlalu sibuk dengan organisasinya dan melupakan kuliahnya sudah selayaknya harus segera dihapus. Jangan jadikan berorganisasi membuat kawan-kawan melupakan kuliah tetapi, jadikan berorganisasi sebagai penyokong dan penyemangat bagi kegiatan kuliah kawan-kawan. Sudah selayaknya bagi orang tua dan mahasiswa sendiri menyadari bahwa berorganisasi itu akan memberikan pengaruh positif jika dilakukan dengan cara yang benar. Memang tidak secara pasti bahwa setiap mahasiswa yang aktif berorganisasi akan memiliki prestasi yang baik atau akan memperoleh masa depan yang cemerlang. Berorganisasi hanyalah sebuah jalan, seberapa jauh yang dicapai semua tergantung dari seberapa keras usaha yang dilakukan masing-masing orang.
Upaya menumbuhkan minat mahasiswa untuk berorganisasi harus menjadi perhatian (concern) baik itu orang tua, mahasiswa, serta otoritas kampus. Upaya membangun komunikasi untuk memberikan pemahaman yang lebih baik tentang pentingnya berorganisasi baik bagi orang tua dan mahasiswa perlu dilakukan. Serta tidak kalah pentingnya adalah, dukungan dari kebijakan otoritas kampus yang mampu membuat minat mahasiswa untuk berorganisasi bertambah juga harus dilakukan. Contoh saja seperti kebijakan yang diambil UIN Malang yang mensyaratkan mahasiswanya untuk memperoleh sertifikat aktif dalam kegiatan organisasi kampus untuk dapat di wisuda serta memprioritaskan mahasiswa yang aktif berorganisasi untuk mendapatkan beasiswa. Upaya yang dilakukan seperti ini akan sedikit banyak mendorong mahasiswa untuk aktif berorganisasi di kampus. Tanpa adanya keaktifan mahasiswa berorganisasi di kampus maka, secara tidak langsung akan membuat eksistensi kampus juga akan dipertanyakan keberadaannya.


[1] In’am, Muhammad Esha; Syaifuddin, Helmi; Faishol, Muhammad, ed. 2 Tahun Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. (Malang: UIN-Malang Press, 2006) hlm. 30
[2] Karya Ilmu Surabaya. Sejarah Perjalanan UUD’45. (Surabaya: KIS, 2011). Hlm. 31
[3] Angga Teguh Prasetyo. Kamus Istilah Pendidikan. (Malang: Aditya Media Publishing. 2011). Hlm. 76
[4] Abraham H. Maslow. Toward a Psychology of Being, 2d ed. (New York: D. Van Nostrad, 1968). Hlm. 25.
[5] Abraham H. Maslow. Farther Reaches of Human Nature. (New York: Orbis Book, 1986). Hlm. 260
[6] George, C. Boeree.  Personality Theories. (Yogyakarta: Prismasophie, 2009), hlm.260.

MI vs SD dalam Membentuk Karakter Siswa


By  : Maulawiyah

Karakter para penerus generasi bangsa kini kian memprihatinkan. Oleh karena itu, dibangun kembali dengan mengadakan pembentukan karakter. Pembentukan karakter tersebut dapat dibangun sejak dini. Hal itu dilakukan untuk memberikan benteng kepada mereka agar tidak mudah terpengaruh oleh hal-hal yang berbentuk negatif. Proses pembentukan karakter tidak mudah dilakukan. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu lembaga pendidikan atau lembaga sosial yang menangani secara khusus pembentukan karakter pada anak.
Salah satu cara yang dapat dilakukan ialah dengan memberikan anak kepada lembaga yang berhubungan erat dengan pembentukan karakter tetapi masih dalam lingkup dunia pendidikan. Pendidikan yang mengawali pembentukan karakter tersebut antara lain dapat dilakukan di Madrasah Ibtidaiyah dan Sekolah Dasar.
Pendidikan pada tahap dasar memiliki peran yang sangat stategis dalam membangun, membentuk, membina dan mengarahkan anak didik menjadi manusia yang seutuhnya. Manusia yang memiliki karakter dan kepribadian yang positif, manusia yang mampu memahami diri sendiri dan orang lain, manusia yang terampil hidupnya, manusia yang mandiri dan bertanggung jawab, dan manusia yang mau dan mampu berperan serta dan bekerja sama dengan orang lain.
Pada tingkat Sekolah Dasar pemisahan antara fungsi teknis pendidikan di bawah naungan Depdiknas dan fungsi administrasi pendidikan di bawah Pemda setempat menunjukkan adanya dualisme dalam penyelenggaraan Sekolah Dasar yang sangat tidak praktis dan efisien, karena sering terbentur oleh perbedaan kepentingan antar instansi yang diwarnai dengan keinginan yang berlebihan untuk mengambil peranan manajerial dan tanggung jawab atas sekolah-sekolah.
Adanya dualisme manajemen pendidikan dasar tersebut dikarenakan tidak adanya keterpaduan antara pembinaan teknis dengan pengelolaan Sekolah Dasar. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa yang dirugikan dalam kerancuan pengelolaan ini ialah mutu pendidikan Sekolah Dasar, sehingga mutu pendidikan di Sekolah Dasar sulit untuk ditingkatkan. Sistem pengelolaan pendidikan akan sangat menentukan efektif atau tidaknya kurikulum, berbagai peralatan belajar, waktu dan proses mengajar itu sendiri dalam proses belajar yang pada akhirnya akan menghasilkan output pendidikan dasar yang sesuai dengan harapan.
Terlepas dari masalah yuridis, terdapat dua pola pemikiran atau asumsi yang mendominasi kontraversi ini Pertama, mutu pendidikan akan dapat ditingkatkan apabila ditangani secara efisien. Kedua, pendidikan khususnya pada pendidikan dasar yang merupakan kebutuhan dasar dari setiap warganegara, merupakan kewajiban pemerintah dalam hal ini unit pemerintah yang paling dekat, untuk melaksanakannya.
Kontroversi yang timbul dewasa ini mengenai manajemen sekolah dasar bersumber dari dua asumsi yang berasal dari dua pemikiran yang berbeda. Pertama menggunakan PP No. 28 Tahun 1990 sebagai pedoman dan berpegang kepada UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Kedua sudut pandang tersebut memang boleh digunakan karena dilihat dari segi hukum keduanya sama-sama benar, hanya saja menurut Suryosubroto permasalahan dalam manajemen pendidikan dasar disebabkan karena:
a)      Pendidikan dasar merupakan hak asasi manusia Indonesia, sesuai dengan UUD-45 pasal 31 yang menyatakan bahwa setiap warganegara berhak memperoleh pendidikan. Oleh sebab itu, pelaksanaannya tidak dapat terhalang oleh peraturan perundangan yang berada dibawahnya.
b)      Masalah manajemen pendidikan, khususnya pendidikan dasar, bukan hanya sekedar merupakan masalah yuridis, tetapi lebih dari itu karena berkenaan dengan anak Indonesia yang justru akan memperoleh pendidikannya yang sangat mendasar bagi kelangsungan hidup bernegara.
c)      Desentralisasi atau sentralisasi pelaksanaan proses pendidikan, kedua cara pendekatan itu perlu didudukkan dalam rangka usaha mencapai keberhasilan dari proses pendidikan itu sendiri. Pendekatan desentralisasi maupun sentralisasi keduanya mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Karena itu, dalam implementasinya masih perlu dikaji lebih lanjut.
Masalah pendidikan, khususnya pada pendidikan dasar memang tidak bisa lepas dari masalah kebijakan pemerintah, karena menyangkut kebutuhan dasar rakyat. Penanganan kebutuhan dasar memerlukan pendekatan yang sedekat-dekatnya dengan rakyat. Partisipasi dari rakyat selama ini masih sangat kurang, sehingga penyelenggaraan pendidikan dasar dirasakan sebagai kewajiban pemerintah bukan sebagai kewajiban seluruh rakyat, jadi tidak mengherankan apabila penyelenggaraan pendidikan dasar di seluruh dunia dikaitkan dengan masalah otonomi daerah yang meliputi hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sejalan dengan dikeluarkannya kebijakan tentang otonomi daerah di kota dan kabupaten, selanjutnya pemerintah juga mengeluarkan kebijakan tentang otonomi pendidikan di sekolah dengan pelaksanaan manajemen berbasis sekolah, melalui Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 51 butir 1 yaitu:
“Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah atau madrasah.”
Usia anak MI/SD adalah masa dimana anak itu mulai belajar di luar lingkungan keluarga. Pada saat itu, anak-anak usia MI/SD mudah menangkap pendidikan termaksud pendidikan agama. Hal itulah yang mendasari betapa pentingnya penelaahan dan penelitian dilakukan sehingga kita tidak akan melakukan kesalahan-kesalahan fatal dalam membentuk karakter anak yang tentunya akan menjadi penerus kita menjadi khalifah di muka bumi ini kelak. Menjadi khalifah atau pemimpin itu adalah sebuah tanggung jawab besar yang akan dimintai pertanggungjawabanya kelak, sehingga kita perlu membekali dengan segala persiapan sedini mungkin terhadap anak yang notabenenya akan menjadi penerus kita kelak.
Pendidikan agama sebagai acuan dalam pembentukan karakter haruslah ditanam sejak dini, karena pendidikan agama sangat penting untuk tumbuh kembang jiwa anak. Dengan agama yang berlandaskan akidah dan akhlaq dapat mengarahkan perilaku anak maupun remaja ke perilaku yang baik. Dengan pendidikan agama tentunya diharapkan adanya implikasi dari rasa agama anak dan remaja yang baik juga.
Pendidikan agama islam memberikan dan mensucikan jiwa serta mendidik hati nurani dan mental anak-anak dengan kelakuan yang baik-baik dan mendorong mereka untuk melakukan pekerjaan yang mulia. Karena pendidikan agama islam memelihara anak-anak supaya melalui jalan yang lurus dan tidak menuruti hawa nafsu yang menyebabkan nantinya jatuh ke lembah kehinaan dan kerusakan serta merusak kesehatan mental anak.
Madrasah Ibtidaiyah adalah sekolah setara dengan sekolah dasar yang di dalamnya memberikan materi umum dan juga materi yang berhubungan dengan agama. Dalam madrasah tersebut lebih banyak diberikan materi keagamaan. Oleh karena betapa pentingnya peran pendidikan agama dalam pembentukan karakter siswa, membuat Madrasah Ibtidaiyah pun juga memiliki peran penting pula dalam membentuk karakter anak sejak dini.
Meskipun Madrasah Ibtidaiyah memiliki peran penting dalam pembentukan karakter anak sejak dini, hal ini bukan berarti menyaingi eksistensi Sekolah Dasar. Di Sekolah Dasar juga bisa diterapkan pembentukan karakter, yaitu apabila guru agama di SD mampu membina sikap positif terhadap agama dan berhasil dalam membentuk pribadi dan akhlak anak, maka untuk mengembangkan sikap itu pada masa remaja muda dan si anak telah mempunyai pegangan atau bekal dalam menghadapi berbagai goncangan yang biasa terjadi pada masa remaja.
Realita yang ada saat ini membuktikan bahwa masih banyak masyarakat yang lebih mempercayakan anaknya untuk sekolah di SD daripada MI. Dengan dalih Madrasah Ibtidaiyah penuh dengan materi-materi pelajaran sehingga ditakutkan anak kurang bisa optimal dalam menguasai materi pelajaran yang terlalu banyak, selain itu juga yang sering mendapat perhatian dari pemerintah dan mendapat bantuan adalah  SD dengan titlenya yang hampir semuanya adalah sekolah dasar negeri. Padahal perkembangan madrasah berlangsung sangat cepat.
Di tahun 1966, pemerintah mengizinkan madrasah Ibtidaiyah yang kebanyakan swasta berubah statusnya menjadi madrasah ibtidaiyah negeri.
Alhasil, ada 123 MI yang menjadi madrasah negeri.
Secara legal, madrasah ibtidaiyah sudah terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional sejak di-berlakukannya Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Perkembangan madrasah kemudian berlangsung cepat. Di tingkat MI, siswanya mencapai 11 persen dari total siswa tingkat dasar. Di tahun 1999, terdapat 21.454 MI dan sekitar 93,2 persennya diselenggarakan oleh pihak swasta.
Melihat kenyataan tersebut sudah tidak diragukan lagi bahwa Madrasah dalam hal ini Mandrasah stingkat Ibtidaiyah (MI) memiliki kontribusi nyata dalam pembangunan pendidikan. Apalagi dilihat secara historis, Madrasah memiliki pengalaman yang luar biasa dalam membina dan mengembangkan masyarakat. Bahkan, Madrasah mampu meningkatkan perannya secara mandiri dengan menggali potensi yang dimiliki masyarakat di sekelilingnya.
Proses pengembangan dunia Madrasah dalam hal ini Madrasah setingkat Ibtidaiyah (MI) selain menjadi tanggung jawab internal Madrasah, juga harus didukung oleh perhatian yang serius dari proses pembangunan pemerintah. Meningkatkan dan mengembangkan peran serta Madrasah dalam proses pembangunan merupakan langkah strategis dalam membangun masyarakat, daerah, bangsa, dan negara. Terlebih, dalam kondisi yang tengah mengalami krisis (degradasi) moral. Madrasah sebagai lembaga pendidikan yang membentuk dan mengembangkan nilai-nilai moral, harus menjadi pelopor sekaligus inspirator pembangkit moral bangsa. Sehingga, pembangunan tidak menjadi hampa melainkan lebih bernilai dan bermakna.
Merujuk pada Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, posisi dan keberadaan Madrasah Ibtidaiyah (MI) sebenarnya memiliki tempat yang istimewa. Namun, kenyataan ini belum disadari oleh mayoritas masyarakat muslim. Karena kelahiran Undang-undang ini masih amat belia dan belum sebanding dengan usia perkembangan Madrasah di Indonesia. Keistimewaan Madrasah dalam sistem pendidikan nasional dapat kita lihat dari ketentuan dan penjelasan pasal-pasal dalam Undang-udang Sisdiknas sebagai berikut:
Dalam Pasal 3 UU Sisdiknas dijelaskan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Ketentuan ini tentu saja sudah berlaku dan diimplementasikan di Madrasah. Madrasah sudah sejak lama menjadi lembaga yang membentuk watak dan peradaban bangsa serta mencerdaskan kehidupan bangsa yang berbasis pada keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT serta akhlak mulia.
Secara khusus, ketentuan tentang pendidikan keagamaan ini dijelaskan dalam Pasal 30 Undang-Undang Sisdiknas yang menegaskan: (1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. (3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. (4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, Madrasah, dan bentuk lain yang sejenis.
Bahkan dalam PP RI NOMOR 19 th. 2005 TENTANG STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN Standar Kompetensi Lulusan di jelaskan pada pasal 26 ; Standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan dasar bertujuan untuk meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian akhlak mulia serta ketrampilan unutk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. Dalam kaitan tersebut diatas Keberadaan Madrasah Ibtiaiyah (MI) menjadi sangat strategis dalam hal pembinaan Akhlak mulia karena sejak awal Madrasah Ibtidaiyah (MI) telah koncern dalam pembinaan Akhlak dan moral para peserta didiknya.